aman
Siswa berdiri pada tanggal 3 Juli 1922, Taman Siswa adalah badan
perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan
pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan
batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi,
politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu
mengendalikan keadaan.
Bebicara Taman Siswa tidak bisa lepas dari pendirinya yaitu Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar
Dewantara. Beliau mendirikan Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan
pemuda Indonesia dan juga sebagai alat perjuangan bagi rakyat Indonesia.
Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin,
luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan
rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan
Taman Siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Tamansiswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar
Dewantara. Awal pendirian Taman Siswa diawali dengan ketidakpuasan
dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, karena
jarang sekali negara kolonial yang memberikan fasilitas pendidikan yang
baik kepada negara jajahannya. Seperti yang dikatakan oleh ahli sosiolog
Amerika “pengajaran merupakan dinamit bagi sistem kasta yang
dipertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.
Gambar: Ki Hajar Dewantara
Oleh sebab itu maka didirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa
merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan
mendirikan pranata tandingan. Taman Siswa adalah badan perjuangan
kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam
arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan
bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka
lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb,
sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara telah
mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tetapi dengan
seperti itu secara langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik
pengajaran kolonial. Lain dari pada itu kebangkitan bangsa-bangsa yang
dijajah dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial umumnya disebut
dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan menuju kemerdekaan.
Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu
pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya
pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan
berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu
sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam
dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu
sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak
didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.
Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut
Wuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak
didik, yang dalam terminologi baru disebut
Student Centered. Di
dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan
potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat
dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik
ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di
jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Gambar: Logo Taman Siswa
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja
sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang
satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi
kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang
dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam
(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon),
Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan
kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai
ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap
orang).
B. REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMANSISWA
Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat
Indonesia dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk
menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah kolonial
berusaha untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya,
dan sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak itu, Taman Siswa
menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1931 timbul pendapat dikalangan orang Belanda yang
memperingatkan pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan
kembali, Taman Siswa akan menguasai keadaan dalam tempo sepuluh tahun.
Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal de jonge menyambut kegelisahan
orang Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat
dalam Staatsblad no. 494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari
ordonansi itu ialah memberi kuasa kepada alat-alat pemerintah untuk
mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai
oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum
dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana
pengajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian
juga peraturan-peraturannya. Ordonansi itu menimbulkan perlawanan umum
dikalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh prakarsa Ki Hajar
Dewantara yang mengirimkan protes lewat telegram kepada Gubernur
Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932.
Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirimkan maklumat
kepada segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan menjelaskan lebih lanjut
sikap yang diambil Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong
sepenuhnya oleh 27 organisasi, antara lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru
Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan,
Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-lainnya.
Golongan peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini. Pers
nasional tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya.
Mohammad Hatta sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia,
menganjurkan supaya mengorganisasi aksi yang kuat. Pada bulan Desember
1932, Wiranatakusumah, anggota
Volksraad mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan sebuah usul inisiatif.
Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di
Volksraad,
berisi: menarik kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi
untuk merencanakan perubahan yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban
Pasundan mengancam akan menarik wakil-wakilnya dari dewan-dewan, apabila
ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret 1933. Juga dikalangan
para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat sambutan,
terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka dan
Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad
perlawanan akan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa
penjelasan dan mengadakan pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya
dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 ordonansi
Sekolah liar diganti dengan ordonansi baru.
Gambar: Kongres Taman Siswa Tahun 1930 di Yogyakarta
Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa
gemilang bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak
menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa
akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial
yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa
mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari
mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah.
C. SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA
Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar
(Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi pada masa kemerdekaan ini
tidak semua guru Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk
Perguruan nasional mereka. Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat
dikalangan Taman Siswa dalam menghadapi kemerdekaan.
Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai
dengan tercapainya Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat
ini, peran taman siswa sebagai penggugah keinsafan nasional sudah habis,
dan faktor melawan pemerintah jajahan tidak ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat
mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula
isi sekolah-sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus sebagai
warisan sistem pengajaran yang lampau.
Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri
tetap diperlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan
isinya juga sudah nasional.
Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bisa
dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Taman
Siswa. Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan
uji. Namun hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang
Taman Siswa hanya berpindah tempat mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak
Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada awal kemerdekaan menjadi
Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama didalam
pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentukan
panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya peraturan Taman Siswa
dengan segala isinya. Panitia ini diketuai oleh S. Manggoensarkoro dan
kesimpiulan panitia ini diterima dalam Rapat Besar Umum (Kongres) V di
Yogyakarta pada bulan Desember 1947.
Pada masa itu, Belanda sudah memulai aksi militernya yang pertama pada
21 Juli 1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan
cabang-cabang di daerah pendudukan. Di daerah pendudukan Belanda muncul
sebutan “sekolah liar” tapi tidak hanya sekolah partikelir saja tapi
sekolah republik pun dinyatakan “sekolah liar” ketika sekolah di Jakarta
ditutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25 dibanjiri oleh
murid-murid. Semangat yang luar biasa ditunjukan oleh sekolah Taman
Siswa yang berada di daerah pendudukan, mereka berusaha mempertahankan
sekolah mereka meski Majelis Luhur di Yogyakarta tidak menyetujui
diteruskanya sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis Luhur
mengizinkan untuk membuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah
pendudukan.
D. TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN
Salah satu masalah yang dihadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah
meninjau kembali hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dalam
hal penerimaan subsidi. Di kalang perguruan tinggi, banyak perbedaan
dalam menghadapi masalah ini, yaitu mereka yang dapat menerima subsidi
itu dan digunakan untuk pengelolaan sekolah tapi tetap melihat berapa
besar pengaruhnya agar tidak menggangu prinsip “merdeka mengurus diri
sendiri” dan mereka yang beranggapan agar melepas sikap oposisi seperti
pada masa kolonial karena dianggap tidak cocok saat Indonesia merdea.
Pada tahun 1946, sempat ada keterbukaan untuk menghadapi masa
kemerdekaan untuk merumuskan kembali sas dan dasar , namun dalam
pelaksanaanya mengenai subsidi ini masih banyak yang ingin memelihara
keadaan seperti yang lalu.
Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua aliran. Yang pertama
aliran yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan
pemerintah, merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam
cita-citanya sendiri dan terus berusaha agar sebagian masyarakat
menerima konsep pendidikan nasional. Caranya ialah dengan tetap
mempertahankan sistem pondok yang relatif terasing dari masyarakat
sekitarnya. Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpendapat
bahwa perkembangan masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan
keadaan zaman kolonial, oleh karena perubahan perlu dihadapi dengan
pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian
untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan
politik pendidikan nasional.
Terimakasih telah berkunjung, semoga bermanfaat !!!